*Nyonya Meneer dan Fenomena Zombie Company* – Jawa Pos,10 August 2017
Kita merinding mendengar kabar bahwa perusahaan legendaris Nyonya Meneer dipailitkan kreditornya minggu lalu. Dengan begitu, pengelolaan pabrik kini berada di tangan kurator untuk dilikuidasi atau diatasi dengan cara lain untuk membayar utang yang jumlahnya cukup besar.
Kita merinding karena jasa perusahaan itu sangat banyak bagi anak-anak kita yang masa kecilnya akrab dengan Minyak Telon produksi Nyonya Meneer. Belum lagi jamu habis melahirkan yang banyak digemari kaum ibu.
Dengan menarik napas panjang, saya sebenarnya tak enak hati menjelaskan fenomena seperti ini, yang semakin hari semakin banyak. Namun, karena banyak yang menanyakannya, baiklah saya jelaskan. Semoga keluarga almarhum Nyonya Meneer tak berkeberatan dan diberi ketabahan dalam melewati masa-masa sulit mempertahankan legacy bisnis ini.
Baiklah, ini sebenarnya fenomena zombie company. Maaf, ini memang agak mirip dengan zombi yang banyak kita saksikan dalam film-film science fiction yang kadang horor kadang jenaka. Karena film yang mengulas tentang zombi cukup banyak (Abraham Lincoln vs Zombies), ia menjadi begitu populer.
Singkat cerita, zombi adalah mayat yang berjalan. Ia sebenarnya sudah mati, tak ada lagi sumber darahnya, tetapi karena satu dan lain hal tidak bisa atau tak mau dikubur.
*Hidup dari Utang*
Zombi yang kita kenal dalam film itu, selain tak ada sumber darahnya lagi, juga tak berjiwa, tetapi punya naluri dan bisa bergerak. Jiwa atau roh dalam bisnis merupakan sumber inovasi dan kebijakan. Sedangkan darah adalah energi yang menggerakkan seluruh organ perusahaan. Ini sama dengan cash flow atau arus kas yang datang dari usaha (penjualan).
Nah, biasanya begitu ditinggal founder-nya, perusahaan seperti bergerak tanpa ''roh''. Ia menjadi tidak inovatif. Ia akan terbelenggu oleh rutinitas. Tak menciptakan hal-hal baru lagi yang menggairahkan semua pegawai. Ibarat koran ini tanpa ''Dahlan Iskan'' baru yang gesit dan selalu ada ide brilian, walau tak semuanya bisa digerakkan menjadi uang.
Perusahaan tanpa roh ibarat perguruan tinggi negeri yang dipimpin oleh rektor yang, maaf, numpang duduk di jabatan tertingginya. Dia hanya asyik memimpin seremoni, tak ada sesuatu yang baru dari kepemimpinannya.
Selain ada di satu dua PTN, fenomena itu juga ada di BUMN, anak-anak BUMN, atau perusda yang gagal meraih pemimpin transformasi. Tetapi, kini juga banyak di sektor swasta. Bisa jadi, BUMN atau anak-anaknya terlalu nyaman sehingga menjadi lazy company, tetapi pemimpin tahu banyak tentang sejarah dan administrasi perusahaan.
Jadi, soal pengetahuan internal, tak ada yang bisa menandinginya. Tetapi, dia tak pernah ''melihat'' bagaimana wujud kantornya karena tak pernah berada di luar melihat perusahaannya bila dibandingkan dengan yang lain.
Jadi, tak ada lagi perjuangan membangun hal-hal baru. Semuanya hanya meneruskan yang sudah ada saja. Bahkan yang sudah kusam, tak laku, tak relevan lagi terus dipelihara. Masih itu-itu saja yang diperdagangkan.
Zombie company akhirnya hidup dari utang atau menjual aset-aset yang ada secara bertahap (tidak revolusioner). Hanya supaya bisa bergerak. Bahkan dibiayai dengan bad debt atau cek kosong.
*Siapa Mereka?*
Adakah di antara zombi itu yang baik?
Tidak ada! Itu menurut sejumlah sumber. Dalam film-film science fiction selalu diceritakan, zombi yang baik itu seharusnya sudah dikubur. Jangan dibiarkan bergentayangan. Sebab, mereka akan menyebarkan rasa takut dan kesulitan bagi yang hidup dan masih punya masa depan.
Yang saya khawatirkan, di Indonesia ini, fenomena zombi semakin banyak. Sebab, bagi sebagian orang, menutup perusahaan itu sungguh memalukan. Apalagi dinyatakan pailit. Direktur-direktur dan pemegang sahamnya bisa masuk dalam daftar hitam perbankan, di-black list untuk menerima jasa-jasa.
Selain itu, ia juga dipelihara orang-orang lama karena secara pribadi aset-asetnya yang tak terpakai masih bisa mereka gunakan secara pribadi. Ruang kerja, kartu nama, fasilitas gudang, dan bisnis-bisnis turunannya. Masih ada yang bisa dipakai untuk kegiatan perorangan yang tak perlu menanggung fixed cost.
Di Negeri Matahari Terbit, fenomena perusahaan zombi sebetulnya mulai menyeruak pada 1990-an. Perusahaan-perusahaan bertahan hidup –meski tak mampu membayar kreditnya– berkat kredit murah perbankan, sikap lunak pemerintah dan kreditor. Menurut laporan Bloomberg, kreditor terpaksa bersikap lunak karena kalau mereka pailit, itu akan berdampak buruk terhadap neraca laporan keuangan kreditor.
Alhasil, sampai Maret 2017, memang tak satu pun dari sekitar 4.000 perusahaan publik di Jepang yang mengajukan perlindungan kepailitan. Padahal, banyak di antara mereka yang bisnisnya sudah terdisrupsi. Contohnya, Toshiba, Sharp, dan Sanyo.
Sharp selama bertahun-tahun hidup dalam kondisi nyaris bangkrut sampai akhirnya diambil alih Foxconn, perusahaan elektronik asal Taiwan. Bisnis Sanyo babak belur akibat produknya kalah bersaing dengan produk sejenis dari Tiongkok dan Korea Selatan. Sanyo pada 2009 diambil alih Panasonic. Sedangkan Toshiba tak lagi terdengar geliat inovasinya setelah laptop.
Kita jangan silau dengan perekonomian Korea Selatan dan Tiongkok. Di Negeri Ginseng, industri perkapalannya terpukul karena menurunnya perdagangan global selama tiga tahun terakhir. Maret silam bank-bank pemerintah di sana terpaksa memberikan pinjaman USD 2,6 miliar ke Daewoo Shipbuilding & Marine Engineering Co dan mengonversi utangnya dengan saham. Padahal, dua tahun kemudian, Daewoo Shipbuilding mesti melunasi utang jangka pendeknya yang mencapai USD 4 miliar!
Saya membaca laporan Financial Times edisi 25 Mei 2017 yang mengutip data dari Bank of Korea dan Financial Supervisory Service. Potretnya lumayan mengerikan. Financial Times menulis, ada lebih dari 3.278 perusahaan zombi di Korea Selatan dengan 232 di antaranya adalah perusahaan publik.
Angka itu naik 17 persen jika dibandingkan dengan 2012. Padahal, perusahaan-perusahaan zombi yang ada di bursa efek saja diperkirakan mempekerjakan sekitar 100 ribu karyawan dan nilainya setara dengan 4,5 persen PDB negara itu.
*Dunia Tengah Dikepung Produk-Produk Zombi*
Perusahaan-perusahaan zombi di Tiongkok juga menimbulkan masalah serius. Pemerintah meminta perusahaan-perusahaan batu bara di Kota Jincheng untuk terus berproduksi meski pembelinya sudah tak sebanyak dulu. Akibatnya, batu bara terus menumpuk tanpa bisa dijual. Itu menciptakan perusahaan-perusahaan zombi dalam industri batu bara.
Hal serupa terjadi dengan semen. Tiongkok kini kelebihan pasokan semen hingga lebih dari 1 miliar ton (bandingkan dengan kapasitas produksi semen kita yang 90-an juta ton per tahun). Fenomena yang sama terjadi pada industri olahan aluminium serta besi dan baja. Padahal, untuk industri besi dan baja, volume produksi Tiongkok lebih besar ketimbang gabungan produksi dari tiga negara: AS, Jerman, dan Jepang.
Mengapa Tiongkok melakukannya? Jika pabrik-pabrik tadi berhenti beroperasi, Tiongkok akan menghadapi masalah pengangguran. Dan, bagi Tiongkok, mereka lebih takut dengan masalah pengangguran ketimbang kelebihan produksi dari pabrik-pabriknya.
Pengangguran bisa menciptakan masalah instabilitas sosial dan politik. Sementara itu, soal kelebihan produksi, Tiongkok bisa menjualnya dengan harga dumping (jadi, kita mesti hati-hati dengan serbuan produk Tiongkok dalam hari-hari ini).
Di Eropa suasananya nyaris serupa. Menurut laporan OECD edisi Januari 2017, bertambahnya perusahaan-perusahaan zombi tersebut merupakan potret tidak efisiennya penerapan UU Kepailitan. Hal itu menimbulkan masalah yang sangat serius. Di Italia, perusahaan zombinya mencapai 6 persen dari seluruh populasi atau naik dua kali lipat ketimbang 2007.
Jumlah itu meningkat karena proses pengadilan kepailitan Italia yang lama dan bertele-tele. Di sana, proses melikuidasi perusahaan membutuhkan waktu hingga delapan tahun. Bandingkan dengan di AS yang hanya beberapa bulan.
_Rhenald Kasali_