jalan terjal dan berliku tanpa sinar rembulan

Menikmati Paradigma

Banyak orang mengeluh sudah edukasi tapi tak kunjung closing. Hayooo, siapa yang merasa? Sebenarnya kita semua pernah ada di situasi itu, bahkan Coach Andhyka sekali pun. Hanya bedanya tidak sampai mengeluh.

Kemarin saya membahas tentang KEYAKINAN, bahwa salah satu sebab tidak closing adalah kita belum menjadikan bisnis kangen water sebagai bagian dari diri kita.

Sederhananya, saya membandingkan dengan kehidupan kami dulu saat masa-masa susah, dimana kesusahan menjadi bagian dari diri kami.

Lucu memang, tapi itulah nyatanya. Kami memiliki keyakinan atau mungkin tepatnya CARA PANDANG (selanjutnya kita sebut PARADIGMA) yang khas sebagai hasil dari kesimpulan terhadap kondisi itu, yaitu "boleh miskin, asal pinter" dan "kita beda dari orang lain, jadi saat orang lain memiliki sesuatu, kita gak perlu berharap sama."

Lambat laun seiring perjalanan usia, dua paradigma tadi masuk menjadi program pikiran. Artinya kemiskinan yang menjadi latar belakangnya menjadi bagian dari identitas kami.

Lihat saja perilaku kami saat itu. Disaat yang lain heboh musim petasan, kami sepi-sepi saja tidak ada yang beli/main petasan. Tapi saat penerimaan raport, kami dipanggil sebagai juara kelas.

Tanpa disadari, kami enjoy dengan situasi ini. Atau malah menikmati. Maka saat tidak ada makanan yang bisa dimakan, atau bahkan harus makan batang pisang yang ditumis, kami sudah maklum kok. Paradigma "kami beda" sepertinya sudah mendarahdaging.

Kembali ke konteks bisnis, maka sebagai sebuah "jalan hidup" ia pun membutuhkan paradigma yang menjadi pondasi, yang membuat kita enjoy atau menikmati saat melalui prosesnya.

Tanpa sebuah paradigma yang tepat atau bahkan salah, sangat mungkin kita tidak menikmati bisnis ini terutama saat melalui situasi sulit.

Maka orang-orang yang mengeluh adalah parameter orang-orang yang tidak menikmati bisnis ini, alias tanda belum memiliki sebuah paradigma yang tepat di bisnis ini.

Sebuah perbandingan lagi, saya menginstall identitas "anak abi" dan "bukan anak abi" ke anak-anak. Sehingga anak-anak saya memiliki paradigma "aku anak abi" dan "dia bukan anak abi" yang kuat sampai pada urusan jajanan.

Anak-anak lain jajan chiki dan makan di depan anak-anak saya tanpa dibagi (bagi anak-anak lain itu adalah sebuah intimidasi yang paling kejam), maka anak-anak saya enjoy aja menyaksikan drama itu.

Mereka paham, yang makan "bukan anak abi" berbeda dengan diri mereka "anak abi". Atau saat bicara kasar mengikuti anak-anak lain, saya peringatkan dan mereka patuh. Anak abi bicara baik.

Artinya, ada paradigma yang menjadi landasan perilaku sehingga apa pun yang terjadi, paradigma itu membuat kita nyaman dan menikmati prosesnya.

Pertanyaannya adalah apa PARADIGMA yang harus kita miliki di bisnis ini?

Pertama, ini bisnis baru dimana kita semua berawal dari TIDAK TAHU dan TIDAK BISA.

Artinya kita semua harus di posisi EMPTY CUP yang BUTUH bahkan MENDESAK untuk segera terisi. Caranya, ikuti pertemuan sejauh yang bisa diikuti. Buat apa? Mengisi dengan segera gelas kosong kita.

Selanjutnya, pelajari DVD yang tersedia, buka dan baca file-file pendukungnya. Termasuk link internet yang dibagikan oleh leader. Pelajari semuanya.

Lalu segera simulasi edukasi dengan leader Anda, segera kenali salahnya dimana dan benarnya dimana. Semakin cepat Anda tahu, semakin cepat Anda mengisi gelas kosong Anda.

Kedua, belajar = melakukan kesalahan. Mustahil belajar tanpa salah. Maka Anda harus melalui kesalahan dulu sebelum masuk ke sesi "sempurna".

Artinya, kesalahan bukan hal yang perlu ditakuti apalagi dihindari. Kesalahan adalah "wilayah yang harus kita lalui".

Dengan kata lain, bila 100 edukasi pertama kita adalah "wilayah gelap dan berduri", maka edukasi ke 101 sudah mulai "terang dan nyaman". Artinya lalui saja 100 x edukasi pertama dengan enjoy. Gak closing? Nikmati saja, kan Anda sudah tahu mesti melewati "wilayah" itu.

Ketiga, Hukum Pareto yang mengatakan 80% efek dihasilkan dari 20% sebab. Awalnya hukum Pareto berkisar di masalah ekonomi, yaitu 80% pendapatan Italia dihasilkan dari 20% populasi penduduk.

Namun kini hukum itu berkembang menjadi 80% komisi kita dihasilkan dari 20% distributor. Lalu 80% closingan kita dihasilkan dari 20% edukasi.

Artinya, dari semua edukasi, paling yang benar-benar menghasilkan closingan hanya 20%, namun menyumbang 80% komisi kita. 20% komisi mungkin dihasilkan bukan dari edukasi langsung kita. Bisa saja dari orang yang tiba-tiba menyerahkan diri.

Dengan kata lain, selalu saja ada 80% edukasi yang tidak menghasilkan closingan. Artinya, jangan berhenti karena banyak yang menolak. Toh itu TAKDIR di bisnis ini.

Keempat, kuantitas dan kecepatan. Bila hukum pareto menyatakan 80% closingan dari 20% edukasi, artinya bila ada 10 prospek, hanya 2 yang akan terclosing.

Namun untuk mendapat yang 2, Anda harus melalui 8 penolakan terlebih dahulu. Dengan kata lain, bila ingin 20 terclosing, Anda harus melalui 80 penolakan. Demikian seterusnya.

Artinya, bisnis ini bicara kuantitas. Semakin banyak daftar nama Anda, semakin besar prospek potensial Anda. Semakin banyak prospek potensial yang bisa Anda telpon, semakin besar kesempatan edukasi kepada mereka.

Semakin banyak prospek potensial yang bisa Anda edukasi, semakin besar peluang untuk closing. Dan semakin banyak yang bisa Anda closing, semakin besar peluang Anda mendapatkan distributor LEADER.

Namun komposisinya selalu 80:20 dimana hanya 20% yang menjadi leader dari semua jaringan Anda, atau hanya 20% yang closing dari semua prospek potensial Anda. Demikian seterusnya.

Pertanyaannya, KAPAN Anda mampu mendapatkan LEADER di jaringan Anda?

Itu sama dengan pertanyaan kapan Anda akan menuntaskan 100% jumlah daftar nama Anda? Semakin cepat Anda bergerak, semakin cepat peluang mendapat leader di jaringan Anda.

Semakin lambat apalagi menunda, semakin cepat orang lain mendapatkannya dan Anda mungkin akan tertinggal jauh dari mereka.

Sekarang tidak terasa, tulisan ini sudah sedemikian panjang. Namun saya ingin mengatakan satu hal kepada Anda, selama keempat paradigma ini belum menjadi bagian dari diri Anda, selama itu pula Anda tidak akan bisa MENIKMATI proses bisnis ini.

Selama Anda tidak menikmati proses bisnis ini, sama saja Anda edukasi dengan rasa terbebani. Selama ada beban dalam diri Anda, tidak sadar, Anda mengedukasi dengan MEMAKSA alias kejar setoran.

Sekarang, bila Anda prospek, kepada siapa Anda akan bergabung? Kepada orang yang antusias dan bahagia atau kepada orang yang terlihat stress dan memaksa?

Wallahu a'lam.

Depok, 24 Agustus 2015

Ahmad Sofyan Hadi
-The Next Legend-

#IamNEXT
#RoadTo6A2
#AmazingUmroh2015
#AmazingLCDRoni-Giana5Sep15
#LeaderIsReader
#SuksesBerjamaah
#KangenAmazingTeam

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons | Re-Design by PKS Piyungan